Kesempurnaan Kasih Allah

Dalam kitab Yesaya dan Kitab Wahyu dikatakan bahwa Allah itu adalah yang awal (alpa) dan yang akhir (omega). Pernyataan ini merujuk pada peristiwa inkarnasi Yesus Sang Putera Allah menjelma menjadi manusia, keallahan yang imanen. Sebab segala sesuatu yang masuk ke alam fana ini pasti memiliki awal dan akhir. Maka gelar Yesus sebagai Allah yang menyejarah dalam hidup manusia ini adalah Allah Maha Pengasih, penyayang, dan seterusnya. Gelar pada makhluk fana melekat pada kata sifat yang berubah-ubah, yang ditandai kata berimbuhan diawal dan diakhir, sebab manusia bisa saja disebut pengasih sejauh sifat mengasihi itu ada dan menjadi keutamaannya.

Tetapi ketika Yesus telah memenangkan pertempuran melawan kuasa kegelapan dan menghancurkan maut, Ia telah kembali kepada keallahanNya yang transedental. Maka Yesus tidak hanya digelari dengan imbuhan. Yesus disebut dengan Kasih atau Sang Kasih. Memang kasih Allah adalah kasih yang sempurna, sehingga tiada awal dan tiada akhir.

Kasih menjadi berawal dan berakhir sejauh terjadi keterpisahan subjek tertentu daripada Allah. Meskipun bukan berarti Yesus pernah terlepas dari keallahanNya, tetapi secara dimensi apapun yang masuk ke dimensi kefanaan akan secara alamiah mengikuti hukum yang berlaku, termasuk kematian badani. Sebab Allah adalah sumber hukum, sehingga tidak mungkin Ia merusak tatanan hukum yang sudah ada. Justru Ia hadir untuk memberi contoh bagaimana hidup menurut hukum yang benar. Ibarat seorang anggota DPR yang membuat undang-undang diandaikan menaati hukum yang disusun dan disahkannya sendiri. Hukum manapun dibuat dengan tujuan baik, demikian pula hukum kasih yang dibawa oleh Yesus untuk menyempurnakan hukum-hukum yang sudah ada.

Surga adalah kediaman Allah, suatu tempat yang merupakan kepenuhan dari jati diri Allah, salah satunya adalah kasihNya yang sempurna. Terpisah dari Allah adalah awal dari kekurangan kasih yang sempurna itu. Kesenjangan kondisi akibat keterpisahan ini membuat pemazmur berkata bahwa, “Lebih baik satu hari di pelataranMu daripada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allah daripada diam di kemah-kemah orang fasik”.

Ungkapan pemazmur ini bisa menjadi dasar bagi kita sebagai orang beriman mendoakan orang yang telah meninggal dunia, sebab bisa saja mereka masih berada di pelataran atau masih diambang pintu surga, yang dikenal sebagai api penyucian atau purgatori. Atau suatu sikap batin orang-orang yang masih hidup didunia ini tetapi sudah mencicipi kesempurnaan kasih Allah yang dirindukannya, khususnya ketika berada dalam pelataran suci dalam rumah ibadah. Atau suatu kondisi jiwa yang memang sudah masuk ke dalam surga, tetapi ia belum masuk ke dalam rumah kediaman khusus Tuhan yang telah menyiapkan hidangan pesta bagi para tamu undangan. Pada intinya, dekat dengan Allah meskipun belum mengalami kasihNya yang sempurna jauh lebih baik daripada jauh dariNya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kaum beriman untuk tidak merindukan rumah Tuhan, yakni Kerajaan Surga.

Meskipun dunia ini menawarkan segala kenikmatan dan keindahannya tetapi ketika rasa rindu akan rumah Tuhan itu terus menggebu-gebu, maka seluruh hati dan budi hanya akan tertuju kepada Allah sehingga hidup akan terbebas dari jerat dunia ini. Itulah sebabnya Yesus ingin membebaskan bait Allah dari segala bentuk penyimpangan. BagiNya rumah Allah adalah rumah doa, bukan sarang penyamun. Cinta akan rumah Bapa yang di surga memanggilNya untuk memelihara rumah yang dikhususkan bagi Allah di dunia ini, meskipun hal itu membuatNya hangus.

Pertanyaannya, mengapa Allah memilih bangsa Israel sebagai umat yang pertama dikasihiNya? Apakah Allah memang punya sifat pilih kasih? Apakah Allah kurang mengasihi bangsa lainnya? Kalau diibaratkan, seperti dalam suatu kelas ada salah satu siswa yang dipilih oleh guru menjadi ketua kelas. Apakah yang dipilih sebagai ketua kelas adalah yang paling dikasihi oleh guru tersebut? Apakah siswa lainnya tidak dikasihi oleh guru tersebut? Demikian pula halnya ketika Allah memilih bangsa Israel sebagai umat yang dikasihiNya, untuk dijadikan sebagai ketua bagi bangsa-bangsa lain. Ketua dibebankan tanggungjawab yang lebih besar dari yang lainnya, khususnya dalam hal keteladanan kasih. Maka ketua akan dihukum lebih berat jika mengajak, mengajari dan membiarkan yang lainnya untuk melakukan pelanggaran. Inilah gambaran bangsa Israel hingga saat ini. Mereka ditunjuk sebagai bangsa pilihan supaya dari merekalah bagsa-bangsa lain mengenal Allah Sang Pencipta yang penuh kasih. Dari cara hidup mereka yang penuh kasih bangsa -bangsa lain belajar untuk membangun keharmonisan. Dari ketaatan total mereka kepada Allah bangsa-bangsa lain akan ikut menundukkan diri pada Allah mereka.

Nyatanya, seperti yang Yesus sampaikan dalam perumpamanNya, benih kasih Allah yang ditabur diantara bangsa Israel ini sebagian jatuh di pinggir jalan, sebagian jatuh ditanah berbatu-batu, dan sebagian jatuh di tengah semak belukar. Akhirnya mati dan tidak sempat berbuah. Benih kasih itu kemudian ditabur di tempat lain yang lebih subur dan menghasilkan buah beratus kali lipat. Tetapi, diantara benih kasih yang tumbuh di tanah subur itu ada juga benih kejahatan yang ditabur oleh iblis. Keduanya akan tumbuh bersama-sama dan akan dipisahkan ketika musim panen tiba. Hasil dari benih kasih akan menjadi milik Allah dan dibawaNya masuk ke dalam kerajaan surga. Sedangkan hasil dari benih kejahatan akan diambil menjadi milik iblis dan dibawanya masuk ke dalam kerajaan neraka yang panas membara.

Karena kedatangan Yesus ditengah bangsaNya sendiri adalah menegasi (menolak) status istimewa mereka dihadapan Allah, maka mereka menolak Yesus, bahkan membunuhNya di salib layaknya seorang penjahat, dengan mendatangkan saksi-saksi palsu yang dibayar. Bahkan berita tentang kebangkitannya dari antara orang mati pun mereka redam dengan membayar penjaga kubur supaya memberikan keterangan palsu. Mereka rela membayar dengan harga berapapun dan mengorbankan apapun demi mempertahankan status mereka sebagai bangsa pilihan Allah. Sikap mereka sungguh menjadi batu sandungan bagi bangsa lain, sebab mulut mereka mengaku mereka mengasihi Allah tetapi perbuatan mereka jahat. Mereka mengaku hidup berdasarkan hukum Taurat Musa, tetapi Musa sendiri menulis tentang Dia mereka tidak tahu. Dengan demikian mereka pun telah menyangkal Musa, sehingga mereka sesungguhnya adalah bangsa yang telah tunduk secara total pada si ular tua, sehingga lidah mereka menjadi bercabang dan mengembang seperti sayap. Maka Yesus menyebut mereka sebagai keturunan ular beludak, si ular tua raja dari segala raja kebohongan dan manipulasi.

Saat ini, dengan mata kepala sendiri kita bisa melihat bahwa apa yang dahulu Yesus kritik dari bangsanya masih berlangsung. Bangsa ini masih menjadi pemeluk agama Yahudi eksklusif yang tertutup bagi bangsa lain. Ambisi mereka menjadi bangsa yang unggul yang tidak segan-segan menghalalkan segala cara, termasuk perang, masih terus berjalan. Itu membuktikan bahwa semua yang Yesus sampaikan adalah kebenaran, yang seharusnya membuat iman kita semakin kokoh. Artinya apa yang tertulis dalam Kitab Suci meskipun bukan sepenuhnya sejarah, tetapi bukanlah dongeng semata. Jika Roh Kudus masih bekerja sampai hari ini, demikian pula roh jahat terus bekerja. Maka, Yesus berkata, “Jika matamu yang kanan menyesatkanmu, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka”.

Oleh: RD.Sirilus Hendri Santoso